Kim_zea bash


SEBUAH SURAT UNTUKTUHAN _ A LETTER TO GOD_

on 12 Mei 2011

Sebuah Surat Untuk Tuhan
Oleh: Fauziah Zulfiana Basyaiban

Hidup memang sebuah pilihan, memilih jadi orang baik atau jahat, memilih menjadi bodoh atau pintar, dan memilih untuk tetap hidup atau mati.
Fahmi sadar akan itu semua, tapi kadang takdir berbicara lain. Ia masih berusia sangat kecil tatkala kedua orang tuanya, pak Syamsudin dan Ibu Halimah menghembuskan nafas terakhir dalam kecelakaan tambang timah milik pemerintah. Meninggalkan Fahmi yang belum faham benar akan arti hidup, bersama kedua adiknya Rahmi dan Azmi.

Tapi, kejadian itu semua telah berlalu…. Fahmi bersyukur, ia dan kedua adiknya masih dapat bertahan hidup walau ditengah keterbatasan tempat tinggal dan pendidikan. Mereka bertiga hanya mengharapkan belas kasihan bibi Rukmini, penjual lontong sayur keliling. Maklum, orang tua mereka bukan termasuk kalangan berada, hanya sepasang buruh timah yang gajinya didapat perhari dan akan habis hari itu juga.
Rumah yang jadi tempat tinggal mereka harus rela Fahmi jual untuk menyambung kehidupan mereka. Sanak saudarapun tiada. jikalaupun ada orang yang paling menderita sedunia, adalah Fahmi dan adik-adiknyalah jawabannya .



Siang itu tatkala mentari bersinar terik dari atap bumi. Peluh membanjiri kening Fahmi. Ia mendesah pelan, terbayang wajah Rahmi yang memucat karena demam berdarah. Sudah satu minggu panasnya tak kunjung turun. Azmi, adiknya yang baru berusia tujuh tahun itu, sudah berada di pangkalannya. Bukan pangkalan belajar tempat anak-anak normal seusianya menimba ilmu, melainkan pangkalan kecil pencari jamur, yang biasanya akan mereka jual kepada Akong si pedagang sayuran keliling.

Fahmi merasakan pedih di sekujur telapak tangannya, dan nyeri di seluruh tubuhnya. Ia melirik keranjang kecil disampingnya, timah yang ia kumpulkan belum seberapa jika dibandingkan dengan buruh timah yang lain.
Ia merasa penat dan letih menyelubunginya. Ia sangat ingin menyudahi pekerjaannya siang itu. Tapi kata-kata Bu Rukmini tadi pagi, seolah terngiang-ngiang ditelinganya, ”kau butuh uang banyak“.
Fahmi mendesah kuat, kulitnya tampak kecoklatan bahkan hampir hitam,karena dipanggang terik matahari setiap hari. Dan tanpa terasa air matanya yang entah dari mana datangnya, membasahi pipinya. Ini kali pertama Fahmi menangis dalam hidupnya. Bahkan saat orang tuanya meninggalpun, Fahmi sama sekali tak menangis. Begitupun, saat uang hasil mencari timahnya selama tiga har berturut-turut, dirampas Sarjo, sang preman pasar, Fahmi juga tak menangis.

“Kamu laki-laki, laki-laki harus kuat dan pantang menangis!.”Begitu kira-kira nasehat ayahnya setiap waktu. Dan nasehat tersebut selalu di patuhinya. Tapi tidak untuk hari ini, Fahmi mendapati dirinya telah letih, ia mendapati hati dan pikirannya kacau, dan mulai berfikir bahwa hidup tak lagi adil.
Kadang ia berfikir mengapa Tuhan memilih dirinya, satu diantara jutaan manusia untuk merasakan hidup yang amat pahit ini.
Fahmi berjalan ketepi rawa, yang kebanyakan dihiasi bapak-bapak setengah baya yang tengah asyik menghisap rokok ala kadarnya. Fahmi memijit keningnya dan kemudian melirik timah yang hanya berjumlah kurang dari dua atau tiga gram saja.



“Hei Fahmi, kudengar adik perempuanmu sakit, apa betul itu? ” Tanya seorang laki-laki dengan kumis tebal yang diketahuinya bernama Cik Arsa. Fahmi menganggukan kepalanya.
” Benartuh Pak Cik , sudah lebih dari seminggu ini, panasnya tak kunjung turun, pak tabib cakap dia terkena demam berdarah dan perlu dibawa kerumah sakit.” Jelas Fahmi dengan menahan lara di hatinya, tak ayal suaranya terdengar bergetar kelam.
Cik Arsa menghirup napasnya dalam-dalam dan kemudian berjalan kearah Fahmi. Ia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan lusuh dari kantong celananya. “Ambillah, dan pulanglah. Belilah obat di warung dekat rumahmu, paling tidak kau beli obat penurun panas .” Fahmi hendak menolak tapi apa daya, ia memang membutuhkannya.

Sepanjang perjalanan pulang Fahmi berfikir apa yang akan dikatakannya kepada Bibi Rukmini. Timah dikantong celananya belum ia tukarkan kepasar, sandal jepit satu-satunya sudah terjahit sana-sini, uang sepuluh ribu pemberian Cik Arsa tadi terasa panas di tangannya.
“ Bang aku butuh celana untuk pergi kesurau, kata Ustadz Rojak, tak pantas pergi ke Surau pakai celana pendek begini .” Kali ini kata-kata Azmi kemarin sore kembali terngiang dikepalanya.
“ Bibi sudah tak sanggup menampung kalian bertiga , carilah uang dan pindahlah secepat kau bisa. Bibi hanya akan tampung kalian sampai Rahmi sembuh saja.”
Kali ini suara Bibi Rukmini yang sudah lebih dari sepuluh tahun menampungnya, seperti sebuah palu yang memukulkan paku diatas kepalanya. Dan uang sepuluh ribu itu kembali memanas di telapak tangannya.
“ Belilah obat di warung dekat rumahmu!” kali ini suara Cik Arsa. Uang sepuluh ribu lusuh digenggamannya itu kembali memanas.
Fahmi menghentikan langkahnya. Dihapusnya peluh yang membasahi seluruh wajahnya. Kaos biru lusuh miliknya sudah dibasahi keringat.
Dan lagi…
Uang sepuluh ribu itu mulai memanas dan semakin panas.
Dan Fahmi tahu ia harus melakukannya sekarang juga … dan saat ini, tak bisa ditunda!



Fahmi keluar dari warung di dekat rumahnya, tapi uang sepuluh ribu itu kini sudah berganti menjadi selembar amplop besar, sebuah buku tulis, dan sebuah pena. Dan sekarang ia hanya butuh duduk dan… Menulis!
Fahmi merasakan jantungnya berdebar dengan keras. Banyak hal yang harus ia tulis, dan lagi, ia merasa cukup kesulitan untuk menulis. Sudah lebih dari satu dasawarsa ia meninggalkan bangku sekolahnya, tapi tekat itu sudah bulat dan mendarah daging dalam tubuhnya. Ia harus melakukannya, SEKARANG!

Setelah hampir dua jam, ia berkutat dengan pekerjaannya, akhirnya senyum cerah itu mengembang di bibirnya. Dilipatnya surat tersebut dan dimasukkannya kedalam amplop besar berwarna coklat.
Ditulisnya sebuah nama disana.
Dan dengan semangat menggebu ia berlari sembari memeluk erat amplop tersebut di dadanya.
Diketuknya pintu rumah berkayu triplek tersebut. Setelah ketukan ketiga, sosok wajah keriput dan rambut putih menghiasi kepalanya menyembul dari balik pintu.
“ Kek… Kakek besok akan pergi kekantor pos bukan?” Tanya Fahmi.
“ Tentu saja, itu pekerjaanku Fahmi, memang kenapa?” Tanya Kakek sang pengantar surat.
Wajah Fahmi kembali bersinar, tawa bahagia menghiasi wajahnya.
“ Boleh tak, aku titip surat?” kemudian Fahmi menyodorkan amplop cokelat tersebut kepada sang kakek.
Setelah menyerahkan amplop tersebut Fahmi berlari pulang kerumahnya dengan derai tawa bahagia. Ia tahu semua penderitaannya akan sirna, adiknya, Rahmi akan sembuh, Azmi akan mendapat celana baru. Dan yang menggembirakan, ia akan mendapatkan rumah baru.
Semua kesengsaraan hidup yang dialaminya akan segera berakhir, tepat setelah surat tersebut sampai kepada sipenerima.
Sang kakek terdiam ditempatnya dengan amplop ditangan kanannya yang bertuliskan
“SEBUAH SURAT UNTUK TUHAN ” dari Fahmi.

0 comments:

Posting Komentar