Kim_zea bash


Mata Sang Naga

on 12 Mei 2011

MATA SANG NAGA
Oleh: Fauziah Zulfiana Basyaiban

Syailendra nama Laki-laki itu, ia menatap nanar jalanan kosong didepannya, untuk sesaat...Hanya sesaat. Ia mencoba untuk mengingat apa yang baru saja dilihatnya beberapa saat yang lalu, KEMATIAN.
Sosok yang terbujur kaku disana beberapa menit yang lalu bukanlah sosok yang dikenalnya, dia bukan saudara ataupun musuhnya. Sosok yang baru saja menghembuskan napas terakhirnya itu sungguh bukan siapa-siapa baginya. Tapi entah kenapa bayangan wajah seputih kapas yang berjuang meregang nyawa dihadapannya tadi tak mau hilang dari ingatannya.
Laki-laki itu untuk sekian kali menghembuskan napas beratnya, dihapusnya setetes keringat yang membasahi keningnya. Ia gemetar!

Syailendra menggelengkan kepalanya, dan mencoba bangkit dari duduknya. Tapi sia-sia. Entah kenapa tubuhnya terasa kaku dan kerongkongannya terasa kering. Tato naga merah yang tertera jelas dilengan kanannya tampak semakin buas. Mata merah dengan lingkaran hijau kecil ditengahnyapun seolah hidup! Masih terekam jelas dalam ingatannya, ketika mang Suryo menceritakan sebuah hikayat tentang naga merah sebagai simbol keperkasaan dan kekuatan, Tanpa berpikir panjang, saat itu iapun mengabadikan naga merah tersebut dilengan kanannya, dan tentu saja fenomena tersebut membuat sosoknya semakin tampak ‘’menyeramkan’’ bagi penduduk kampung Begong.
Ditatapnya sekali lagi telapak tangannya yang basah oleh keringat. Dan saat itulah bayangan akan masa lalunya meletus dibenaknya seumpama lahar panas, dan inilah kisahnya....

Bangunan tua dengan taman yang asri adalah rumah impian setiap orang yang melewati jalan Hialeah . Tapi tidak bagi Syailendra, salah satu penghuni rumah tersebut. Ia merasa rumah tua yang ditempatinya saat ini adalah neraka diatas neraka. Ia selalu merasa setiap ruangan didalam rumah tersebut selalu nampak hidup bagi mata kecilnya, seolah-olah mereka adalah makhluk yang terpenjara dan mengutuk setiap penghuni yang menempati rumah tersebut.
Syailendra kecil adalah anak tunggal dari pasangan Itoshi, laki-laki berdarah jepang ketika masa penjajahan, dan perempuan pribumi bernama Nareen, sikembang desa. Pada kenyataannya Syailendra termasuk beruntung, sedari lahir ia hidup dalam gelimang harta walau tanpa kasih sayang dari ayahnya yang lebih sering tinggal di borneo ketimbang menghabiskan waktu bersama istri dan anak satu-satunya. Sejak tahu ialah yang akan meneruskan usaha Ayahnya, dengan teramat yakin Syailendra tahu, bahwa ia tidak akan bahagia, tidak akan pernah!


“Kau tahu perbedaan antara gagak dan elang anakku?” Tanya Ibunya disuatu kesempatan.
Syailendra menggeleng. Dengan lembut ibu Syailendra mengelus kepala anak kesayangannya tersebut.
“Gagak hidup untuk bertarung, sedang elang hidup untuk bertahan...” jelas ibunya.
Sesaat Syailendra kecil terdiam, mencoba meresapi kata-kata yang diucapkan ibunya. Matanya berkilat tanda ia tengah bersemangat tentang filosofi hidup yang tengah diajarkan ibunya.
“Apa maksud ibu?”
Sekali lagi ibunya mengelus kepala Syailendra yang dihiasi rambut hitam lebat miliknya.
“Hiduplah sebagai seekor elang, jangan pernah sekali-laki mencoba hidup sebagai gagak. Hiduplah untuk bertahan dan janganlah hidup untuk bertarung, karena orang yang bertahan adalah pemenang sesungguhnya”
Syailendra merekam setiap kata yang diucapkan ibunya dalam hatinya, ia berjanji akan mengingatnya selalu, seumur hidupnya.
Dan tanpa Syailendra sadari, setetes air mata jatuh membasahi pipi ibunya. Ia tak akan pernah tahu bahwa Baik elang ataupun gagak pasti akan kehilangan ibunya.


Siang itu bangunan tua itu tampak semakin muram dan kelam dimata Syailendra, ia mempercepat langkahnya menuju pintu utama, sepi. Ia berjalan berbelok kearah dapur, lagi-lagi sepi. Syailendra tak kehabisan akal, kali ini ia membuka pintu disetiap ruangan dibangunan yang dibencinya tersebut. Tapi sekali lagi, sepi! Ia tak melihat sosok ibunya dimanapun. Mata tajam miliknya berkilat, tapi kali ini kilatan itu nampak berbeda, seolah kilatan emosi yang selama ini terpendam dipalung hatinya muncul kepermukaan. Tentu saja ia ingin dan akan menangis, matanya sudah memerah karena menahan isak. Tapi ia ingat, ibunya tak akan pernah meninggalkannya. Tentu saja, ibunya tak akan tega meninggalkannya. Bukankah ia ibu kandungnya? Dan bukankah sudah menjadi tugas seorang ibu untuk menjaga dan melindungi anaknya?

Syailendra melangkah kembali menuju pintu utama dan menyandarkan punggungnya di kusen pintu bercat putih pudar. Ia akan menunggu ibunya sampai ia kembali, mungkin saja ibunya hanya pergi untuk sesaat melihat perkebunan ganja milik ayahnya didesa seberang, atau mungkin ibunya pergi kepelabuhan untuk bertemu kinik sika, sang perempuan tua yang wajahya rusak terbakar itu. Kemungkinan apapun bisa saja terjadi, dan ia yakin ibunya pasti kembali, tapi ia sendiri meragukannya.

Hari semakin gelap tapi sosok ibunya tak kunjung nampak, awan yang tadinya putih sekarang tampak menghitam, pertanda senja baru saja beranjak dari peraduan. Tapi Syailendra tetap keukeh duduk memeluk lutut disana, tanpa bergerak barang satu milimeterpun. Tetes-tetes air hujan jatuh laksana tumpahan garam dari pelabuhan seberang, mata hitam milik Syailendra semakin menghitam. Ia tahu, ia berbeda dengan anak-anak lainnya, tapi selama ini ibunya tak pernah mempermasalahkannya, dan kenapa baru sekarang ia meninggalknannya? Kenapa tidak saat ia dilahirkan saja? Dan kenapa Ayahnya tampak tak pernah mencemaskan perkembangan dirinya yang lambat? Kenapa?
Beribu pertanyaan akan jati dirinya datang dan pergi dalam pikirannya. Kali ini Syailendra membuka matanya dan melihat keujung jalan dari manik matanya yang semakin hitam dan hitam. Ia merapatkan pelukan tangannya dilututnya, mencoba menghalau dingin yang menggigit kulit tubuhnya.
Syailendra hampir jatuh tertidur sebelum sebuah tangan memegang pundaknya, Syailendra terkejut. Matanya membulat aneh demi melihat sosok yang berdiri basah oleh air hujan disampingya, senyumnya tampak mengerikan.
“Kau menuggu perempuan itu?” Tanyanya.
Syailendra tak mengenal laki-laki tua dengan kepala penuh rambut putih itu, ia ingin sekali menanyakan siapa gerangan laki-laki tersebut, tapi bibirnya terasa kelu.
Dan dengan caranya sendiri laki-laki tua aneh tersebut memegang kepala Syailendra, sama persis dengan apa yang dilakukan oleh ibunya setiap waktu.
“Ikutlah denganku” Laki-laki tua dan aneh tersebut mengulurkan tangannya kearah Syailendra.
Syailendra terdiam dengan matanya yang entah kenapa tampak pekat. Ia hendak menggeleng, tapi yang ada malah anggukan yang disambut senyuman aneh milik laki-laki tua tersebut.

Ia berjalan pelan tepat dibelakang sosok laki-laki tua yang tak dikenalnya tersebut, ia baru sadar kalau laki-laki tua tersebut sedikit bungkuk, ia tak menyadarinya ketika ia berada dirumah yang sekarang tampak mengecil dalam pandangannya, karena saat itu laki-laki tua tersebut berdiri terlalu dekat dengannya. Dalam pandangan matanya rumah tua tersebut seolah melambaikan tangan kepadanya dan kemudian tertawa terbahak-bahak, bergembira atas kepergian dirinya. Syailendra bergidik!
Sosok laki-laki tua tersebut tak mengeluarkan satu katapun, seolah ia tenggelam dalam pikirannya sendiri, Syailendra memperhatikan jalanan setapak yang dilaluinya, selama ini ia tak pernah melihat jalan ini, ia bahkan merasa jalan ini tak pernah ada sebelumnya. Seolah-olah jalan ini khusus dipersiapkan untuk hari ini, khusus dipersiapkan untuk dilewati olehnya dan laki-laki tua ini.
Laki-laki tua tersebut tiba-tiba membelokkan langkahnya. Syailendrapun melakukan hal yang sama, diujung jalan sana tampak sebuah gubuk tua dengan penerangan seadanya, dindingnya terbuat dari papan bosekko berwarna cokelat kekuning-kuningannya, atapnya hanya terdiri dari tumpukan rumbia yang entah kenapa dalam pandangan Syailendra seumpama tumpukan rambut putih yang berkilau ditempa sinar rembulan.
Syailendra memejamkan matanya dan membukanya dalam hitungan detik.
“Mau kemana kita?” Tanya Syailendra akhirnya.
“Kita hampir sampai” Jawab laki-laki tua tersebut.
“Siapa kau?” Tanya Syailendra lagi.
“Apakah itu penting?”
Alis syailendra tampak bersatu. “Ada hubungannya dengan ibukukah?”
Laki-laki tua tersebut menghela napasnya dalam-dalam dan menatap dalam-dalam kearah Syailendra.
“Dia bukan ibumu...”



Naga merah tersebut tampak mengeluarkan api dari mulutnya, Syailendra mencoba menghalau semburan api tersebut dengan kedua lengannya, tapi lengannya terbakar! Iapun merintih kesakitan. Tak pernah ia merasakan sakit seperti ini sebelumnya. Semakin lama Naga merah tersebut tampak semakin besar dan besar. Mata miliknyapun semakin tajam, seolah-olah naga tersebut berkembang hanya dalam hitungan detik. Syailendra ketakutan. Ia sudah pernah melihat rumah tertawa, ia juga pernah melihat pohon menagis, tapi tidak dengan naga yang bernafsu membunuh dirinya.
Syailendrapun berlari dari mautnya sendiri, ia menerobos semak belukar berduri, membiarkan duri-duri tersebut menancap ditubuhnya dan merobek kulitnya. Ia masih bisa mendengar suara naga yang semakin mendekat kearahnya, Iapun tak menghiraukan rasa perih dan kram dipergelangan kakinya. Yang ia tahu, ia harus terus berlari kalau ingin hidup.
Dan saat itulah sebuah kepala berwarna merah, dengan mata hitam tajam menakutkan muncul dihadapannya, “Waktumu sudah tiba!” Ujar sang naga.
Syailendra melotot dan berteriak: TIDAK!


Peluh sebesar biji jagung membasahi keningnya, napasnya memburu. Syailendra mellihat keadaan sekelilingnya, berharap ia melihat naga merah didalam kamarnya. Tapi nihil. Syailendra bersyukur bahwa apa yang baru saja terjadi padanya adalah sebuah mimpi. Ia meraba tato naga merah dilengan kanannya, hanya untuk memastikan ia masih berada ditempat yang seharusnya. Tato itu hasil karya ahli kanji dari jepang, perlu waktu hampir dua minggu untuk menghasilkan ukiran gambar naga merah yang sempurna dilengan kanannya tersebut.
Sekali lagi Syailendra gemetar, ia merasa ketakutan yang amat sangat, bayangan-bayangan mengerikan Dari masa kecilnya, yang membuatnya berbeda selalu menghantuinya akhir-akhir ini, kata-kata mang suryo, laki-laki tua yang membawanya pergi saat itu kembali terngiang dibenaknya.


“Apa semua nampak hidup bagimu?”
Syailendra terdiam.
Laki-laki tua tersebut menatap tajam padanya, “selain rumah dan pohon, apa saja benda mati yang tampak hidup bagimu Syailendra???”
Syailendra hendak menjawab, tapi ia melihat daun jendela tersebut melotot kearahnya, seolah mengatakan “Jangan beritahu dia!”. Syailendra bergidik lagi.
Akhirnya ia memutuskan untuk diam dan tak menjawab. Daun jendelapun menghela napas tenang.

Syailendra memang berbeda dengan orang-orang yang hidup disekitarnya. Fisiknya yang tinggi menjulang nampak tak normal, begitu juga suaranya yang besar mendayu tapi sengau, seperti perpaduan suara burung dan suara keledai jantan. Matanya hampir keseluruhan berwarna hitam pekat, dan hanya menyisakan ruang sedikit bagi warna putih disana, benar-benar sosok yang ‘’menyeramkan’’. Belum lagi akan penglihatannya yang berlebih, terkadang Syailendra melihat benda-benda mati seolah hidup baginya, tokoh-tokoh yang hanya ada dalam kisah dongeng pun tak jarang bermunculan dalam kehidupannya.

Semua itu nampak tak akan pernah berakhir, sebelum hari itu tiba, saat dimana ia melihat sesosok yang tidak dikenalnya berjalan kearahnya seolah akan mengabarkan sesuatu untuknya, tapi sebelum sosok tersebut berkata, tiba-tiba ia jatuh dihadapannya, dan disanalah pemandangan kematian yang baru pertama kali dilihatnya membuat dirinya gemetar tak karuan.
Laki-laki tersebut tampak kesulitan bernapas, matanya melotot seolah hendak keluar dari tempatnya, dan suara seperti desisan bercampur gertakan keluar dari mulutnya, ia meregang nyawa! Dihadapan Syailendra! Didepan mata kepalanya yang sepekat malam itulah laki-laki itu dijemput paksa ke alam barzakh.

Syailendra bangkit dari tidurnya dan menatap cahaya matahari dari ufuk timur, pasukan jepang sudah tak ada, negaranya sudah merdeka berpuluh tahun yang lalu. Tapi tidak dengan dirinya...Untuk pertama kalinya dari dalam hidupnya ia berdoa,” Tuhan...Siapapun engkau, yang telah menciptakanku, yang telah membuatkan sepetak peta dalam hidupku untuk kujelajahi, izinkan aku menemuimu”

Iapun berjalan perlahan keluar menuju tempat yang sering dilihatnya diujung jalan sana, tempat dimana puluhan orang datang paling tidak lima kali sehari, tempat yang selalu tampak teduh dan bersinar dalam pandangan matanya, tempat yang akan memberikan jawaban padanya tentang kegelisahannya selama ini.
Mungkin Syailendra berbeda di mata semua orang, tapi ia tahu, dimata Tuhan ia sama! Tuhan tak akan mempersoalkan bagaimana postur tubuhnya, Tuhanpun tak akan mencemooh suara anehnya, dan juga, Tuhanpun tak akan mempersoalkan kelebihan ‘’menyeramkan’’nya. Sesaat dilihatnya pepohonan rimbun yang tumbuh liar disisi setiap jalanan yang dilewatinya, dan itulah pertama kalinya ia merasa bahwa pepohonan tersebut tak lagi menertawakannya, semuanya nyata!
Dan saat itu mata sang naga merah dilengan kanannya tampak meredup, redup dan akhirnya padam, seolah ia tahu, hari ini adalah hari kematiannya.

0 comments:

Posting Komentar